Grinnews.id – Masa depan industri angklung Indonesia tampaknya menghadapi tantangan serius terkait sulitnya regenerasi perajin. Di Saung Angklung Udjo, salah satu pusat pengrajin angklung terkemuka, kondisi ini sangat dirasakan oleh Eri Yayat, atau yang akrab disapa Abah Yayat.
Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman, Abah Yayat mengungkapkan kekhawatirannya tentang keberlanjutan tradisi pembuatan angklung.
“Regenerasi perajin angklung saat ini jauh lebih sulit dibandingkan dengan orang-orang yang memainkannya,” ujar Abah Yayat.
Abah Yayat memulai kariernya di Saung Angklung Udjo sebagai apa yang saat ini dikenal dengan istilah ‘office boy‘.
“Sejak 1987, saya belajar dari Pak Udjo. Dulu saya melakukan pekerjaan umum, kemudian diarahkan untuk fokus pada produksi angklung,” kata Abah Yayat.
Meskipun sempat meninggalkan Saung Angklung Udjo untuk mencari pekerjaan lain, akhirnya ia kembali lagi. “Setelah periode tanpa pekerjaan, saya ditarik kembali oleh Pak Taufik ke Ecoland,” tambahnya.
Satu Oktaf Angklung per Hari
Di Udjo Ecoland, Abah Yayat menghabiskan harinya bersama istrinya, Aan, dan beberapa perajin angklung lainnya. “Dalam sehari, saya bisa membuat satu oktaf atau satu set angklung,” ungkap Abah Yayat.
Angklung yang ia buat akan dibawa ke Saung Angklung Udjo untuk penyempurnaan suara sebelum akhirnya dipasarkan, bahkan ke luar negeri.
“Setelah melalui tahap penyempurnaan suara, angklung tersebut baru akan dijual,” sebut Abah Yayat.
Namun, Abah Yayat mengakui bahwa menemukan perajin angklung generasi baru adalah tugas yang tidak mudah.
“Kondisi saat ini berbeda dari masa Pak Udjo, di mana semua tahapan, dari pembuatan rangka hingga penyelesaian, diajarkan secara menyeluruh,” kata Abah Yayat.