Grinnews.id – Plh Wali Kota Bandung, Ema Sumarna, memberikan pandangannya terkait kebijakan baru dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, yang menghapuskan kewajiban skripsi bagi mahasiswa S-1 dan D4. Menurutnya, kebijakan ini sesuai dengan kondisi dan dinamika pendidikan saat ini.
“Kehidupan itu dinamis. Saya yakin kebijakan ini didasarkan pada riset dan penelitian yang mendalam. Ini mungkin cocok dengan kondisi dunia pendidikan saat ini dan bukan untuk menurunkan standar kelulusan atau kualitas alumninya,” kata Ema saat ditemui di Pendopo Kota Bandung, Rabu (20/8/2023).
Ema menambahkan bahwa Pemkot Bandung akan selalu menyesuaikan diri dengan kebijakan yang sedang direncanakan, asalkan itu bisa dipertanggungjawabkan. “Ini tidak akan membuat mahasiswa asal lulus. Ada bentuk pertanggungjawaban lain, mungkin lebih ke aplikasi praktis atau bentuk lainnya,” ungkapnya.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023, tidak hanya mahasiswa S1 yang terkena dampaknya. Aturan ini juga mempengaruhi mahasiswa S2 dan doktoral dengan lima poin utama, antara lain:
- Kompetensi tidak lagi dijabarkan secara rinci
- Perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
- Tugas akhir bisa berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk lain
- Jika program studi sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek, tugas akhir bisa dihapus
- Mahasiswa program magister dan doktor tetap diberikan tugas akhir, namun tidak wajib diterbitkan di jurnal
Reaksi dari Dunia Akademis dan Masyarakat
Reaksi dari dunia akademis dan masyarakat terhadap kebijakan ini cukup beragam. Beberapa pihak merasa kebijakan ini akan mempermudah proses pendidikan dan lebih menekankan pada kompetensi praktis. Namun, ada juga yang khawatir ini akan menurunkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Tidak hanya Ema Sumarna, beberapa tokoh pendidikan dan pemerintahan lainnya juga menunjukkan dukungan terhadap kebijakan baru ini. Mereka berpendapat bahwa ini adalah langkah maju yang bisa menyesuaikan sistem pendidikan Indonesia dengan kebutuhan industri dan perkembangan zaman.
Meskipun banyak yang mendukung, implementasi dari kebijakan ini tentu tidak akan mudah. Perguruan tinggi perlu menyesuaikan kurikulum dan metode penilaian untuk memastikan bahwa mahasiswa tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas meski tanpa skripsi.
Sementara itu, mahasiswa sendiri tampaknya cukup antusias dengan kebijakan baru ini. “Ini memberi kami lebih banyak pilihan untuk mengekspresikan kompetensi kami, tidak hanya melalui skripsi tetapi juga melalui proyek atau prototipe,” ujar salah satu mahasiswa yang ditemui.